Minggu, 09 Februari 2014

MANFAAT EKSTRAK IKAN GABUS DAN VITAMIN C BAGI ODHA


Oleh: Sri Rezeki Pettalolo, S.Gz, RD*

PENDERITA yang terinfeksi HIV sering mengalami gangguan asupan zat gizi yang menyebabkan menurunnya fungsi biologis tubuh. Bahkan pada penderita HIV terjadi perubahan kondisi klinis yang bukan hanya akibat dari masalah asupan zat gizi saja, tetapi juga akibat dari proses penyakitnya. Hal ini ditandai dengan terjadinya penurunan status gizi dan imunodeficiency pada penderita HIV/AIDS yang pada akhirnya dapat mengakibatkan penurunan imunitas sehingga munculnya berbagai infeksi primer, antara lain seperti; nyeri otot/ sendi, mukokutan (ruam kulit, ulkus di mulut), limfadenopati maupun tumbuhnya jamur di mulut (kandida, K.neoformans, H.kapsulatum, pneumpocystis).Akibat lain dari penurunan status gizi dan imunodeficiency pada penderita HIV tersebut berisiko pula terhadap perkembangan penyakit HIV dan terjadinya kematian.
Penatalaksanaan yang selama ini dilakukan dalam mengelola penderita HIV dan AIDS adalah melalui upaya pencegahan transmisi, upaya pengobatan umum dan khusus melalui highly active antiretroviral therapies (HAART) yang ternyata tidak sepenuhnya mampu membendung peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat HIV dan AIDS. Hal tersebut disebabkan antiretroviral hanya mampu mengurangi kepadatan virus dalam tubuh penderita tetapi tidak mampu menanggulangi pengaruh Reactive Oxygen Species (ROS).
Peningkatan produksi ROS pada tubuh penderita HIV dan AIDS, dikarenakan oleh adanya deplesi antioksidan yang terjadi pada tubuh penderita HIV dan AIDS. Jika hal ini terus dibiarkan berlarut-larut maka akan terjadi gangguan terhadap fungsi dan kematian sel secara progresif hingga berpotensial jatuh ke derajat penyakit yang lebih berat.Infeksi HIV dapat lebih meningkat dengan adanya peningkatan ROS, karena adanya stress oksidatif yang terjadi, yang berperan penting dalam replikasi virus, respon inflamasi, proliferasi sel kekebalan tubuh, hilangnya fungsi kekebalan tubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap toksisitas obat.
Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) memerlukan asupan zat gizi yang mengandung macronutrien (karbohidrat, protein, lemak) dan micronutrien (vitamin dan mineral) dalam jumlah yang cukup. Kurangnya asupan zat gizi ini dapat memberikan efek langsung pada penderita HIV. Akibat dari asupan zat gizi yang kurang dan adanya proses katabolik yang terjadi, penderita HIV yang terinfeksi secara positif akan mengalami pemecahan protein yang lebih cepat di dalam tubuhnya sehingga mengakibatkan konsentrasi albumin menjadi rendah. Protein merupakan bagian dari zat kekebalan tubuh (anti bodi) yang sangat penting dalam mempertahankan tubuh terhadap terjadinya infeksi.
Ikan Gabus merupakan alternatif lain sebagai sumber protein albumin dan merupakan sumber antioksidan hewani yang berfungsi sebagai pengikat radikal dan berperan dalam proses pembersihan serta penangkapan ROS. Selain itu, albumin yang terkandung dalam ikan gabus diketahui mengandung senyawa-senyawa penting bagi tubuh manusia diantaranya protein yang cukup tinggi, lemak, air dan mineral, terutama mineral Zn, yang berfungsi sebagai antioksidan yang melindungi sel-sel, mempercepat proses penyembuhan luka, mengatur ekspresi dalam limfosit dan protein, memperbaiki nafsu makan dan stabilisasi berat badan.Studi yang dilakukan Nicholas  et al., (2003) melaporkan bahwa dengan pemberian albumin yang kaya akan antioksidan dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap stress dari infeksi HIV melalui hambatannya dalam pembentukan ROS serta pengaruhnya pada kadar Nitric Oxide (NO) yang dihasilkan.
Asupan Micronutrien juga sangat penting bagi penderita HIV/ AIDS, karena dapat berperan dalam fungsi kekebalan tubuh dan infeksi penyakit menular. Vitamin C merupakan salah satu micronutrien antioksidan yang dapat membantu pemulihan infeksi.Hal ini dikarenakan vitamin C mampu berperan dalam melindungi sel-sel dan jaringan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh oksigen reaktif dan nitrogen species yang meningkat selama menderita penyakit menular, utamanya ketika sistem kekebalan tubuh diaktifkan untuk menghilangkan adanya organisme patogen.Asupan vitamin C untuk orang yang terserang infeksi HIV dianjurkan lebih dari cukup agar dapat digunakan untuk menangani adanya peningkatan stres oksidatif yang dapat merusak sel dan jaringan dari sistem kekebalan tubuh dan juga dapat menyebabkan peningkatan keparahan penyakit tersebut.
Dalam sebuah studiobservasional pada pria Amerika Serikat diperoleh bahwa asupan tinggi vitamin C berkaitan dengan rendahnya risiko perkembangan AIDS.Uji coba juga dilakukan di Afrika dengan hasil terjadi risiko kematian yang rendah akibat infeksi HIV pada perempuan Tanzania dan terjadi sedikit peningkatan jumlah limfosit T CD4+.Selain itu, asupan vitamin C juga dapat menghambat laju penurunan jumlah limfosit dan dapat menurunkan viral load. Sementara dukungan vitamin C dengan daily value (DV) 60-1.000 mg bermanfaat untuk mencegah laju progresivitas infeksi HIV, dengan upper tolerable limit (UTL) 2000 mg. Dalam hal ini, peran vitamin C dalam kekebalan tubuh kemungkinan utama terletak dalam fungsinya pada sel  fagosit yang juga dapat memberikan efek reduksi terhadap produksi sitokin inflamasi dan bahkan replikasi retrovirus HIV.
Saat ini terapi yang diberikan pada penderita HIV/AIDS adalah dengan pemberian antiretroviral (ARV) tanpa adanya tambahan pemberian suplemen. Karena hanya ARV saja yang menjadi tanggungan program pemerintah daerah dalam membantu pengobatan penderita HIV/ AIDS tersebut. Sementara terapi ARV harus diimbangi dengan asupan zat gizi yang adekuat. Untuk itulah sehingga saat ini penulis sedang melakukan penelitian dalam penyelesaian tesis pada program pendidikan Magister Ilmu Gizi di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, dengan judul Efek Suplementasi Ekstrak Ikan Gabus dan Vitamin C Terhadap Kadar Hb, Lekosit, Limfosit dan Albumin Pada Penderita HIV/ AIDS.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada masyarakat dalam peningkatan  kesehatan, khususnya mengenai asupan zat gizi penderita HIV/ AIDS dalam upaya mengatasi perkembangan penyakit infeksi lebih lanjut sehingga dapat mengembalikan kualitas hidupnya serta dapat memberikan informasi kepada praktisi kesehatan tentang efek pemberian suplemen ekstrak ikan gabus dan vitamin C terhadap peningkatan status imunitas dan gizi penderita HIV/ AIDS, sehingga dapat dijadikan acuan atau bahan dalam merumuskan perencanaan asuhan gizi yang dapat lebih berkontribusi positif dalam upaya meningkatkan kekebalan tubuh.

Jumat, 31 Januari 2014

Komunitas Rumah Dua Jari


Rumah Dua Jari – adalah komunitas non-profit yg digerakkan oleh anak-anak muda di Kota Palu yang fokus terhadap isu-isu sosial. Didirikan Bulan Ramadhan tepat pada Event Bukber 1000 Kaum Dhuafa Agustus 2013. Awalnya, sebelum menjadi Rumah Dua Jari, komunitas ini bernama Ayo Sedekah Palu. Karena kegiatan atau aksi mulai beragam, maka lahirlah Rumah Dua Jari dengan menjadikan Ayo Sedekah Palu sebagai divisi di Rumah Dua Jari bersama lima divisi lainnya.

Flashback. Setahun lalu, menjelang Bulan Ramadhan. Beberapa anak muda tergerak untuk mengadakan satu acara buka puasa bersama. Ya, niatnya ingin berbagi. Adalah Dardi, inisiator dari acara tersebut yang kemudian mengajak beberapa teman dekatnya, Lisa, Aziz, Aris, Ari, dan Fahri. Media sosial saat itu dirasa paling efektif untuk mengajak orang-orang untuk ikut berpartisipasi. Singkat cerita, acara buka puasa sukses digelar dengan tajuk “Bukber100KaumDhuafa”. Setelah acara usai, Dardi dan kawan-kawan pun berembug dan mulai merancang rencana-rencana selanjutnya. Termasuk menunjuk siapa yang akan menjadi ketua.

Setahun berjalan, anggota dari komunitas ini pun bertambah. Saat ini Rumah Dua Jari beranggotakan 23 orang dengan berbagai latar belakang, ditambah beberapa orang relawan lainnya. Masing-masing anggota menduduki divisi sesuai dengan passion dan ilmunya. Ada 6 divisi yaitu pendidikan, entrepreneur, charity, kesehatan, humas, dan rescue.

Beberapa program yang telah terselenggara adalah bukber 100 kaum dhuafa (2012), bingkisan lebaran untuk kaum dhuafa (2012), qurban keroyokan (2012), bantu korban gempa Sigi (2012), distribusi bantuan untuk korban gempa di Lindu (2012), distribusi bantuan untuk banjir bandang Parigi (2012), dhuafa kembali sekolah, khitanan massal (2012), donor darah (2013), bantu adik Fatur dan Rian (2013),  bermain part I dan part II (2013), trauma treatment anak korban banjir Salua (2013), paket belajar utk korban banjir bandang Salua (2013), bukber 1000 kaum dhuafa (2013), bagi sembako untuk dhuafa (2013), qurban keroyokan Jilid II (2013), dan sedekah untuk Rohingya dan Palestina. Juga aksi tebar cinta untuk Bumi Syam. Beberapa aksi atau kegiatan yang terselenggara bekerja sama dengan yayasan nasional dan nasional. Program-program per divisi akan dilaksanakan setelah mubes pertama yang akan dilaksanakan bulan depan.

Mereka berharap, kedepannya komunitas ini tidak hanya eksis di Kota Palu dan sekitarnya tetapi juga mampu melebarkan sayap di seluruh kota yang ada di Indonesia agar mampu menebar manfaat hingga pelosok-pelosok di daerah lain. Karena “Senyum Mereka, Bahagia Kita”.
Bagi teman-teman yang ingin bergabung dengan komunitas ini bisa langsung ke Rumah Dua Jari di Jalan Nuri Lr. II No. 24 H – CP. 081525891216 – 082195382431.

Sumber : http://www.infopalu.com/2013/10/komunitas-rumah-dua-jari-bantu-korban-banjir-hingga-sebar-qurban/
 

Kamis, 30 Januari 2014

lowongan kerja PT.Santan Batubara

Jenis Jabatan:
Penuh (Full-time)
PT.Santan Batubara & Group Sebuah perusahaan barbaris industri tambang batubara terkemuka memberikan kesempatan kepada putra-putri terbaik Indonesia untuk dididik sebagai tenaga profesional dalam program Management Trainee (MT)
Sebuah program pengembangan yang dirancang secara komprehensif bagi lulusan SMA, Sarjana dan D3 dari jurusan teknik dan non teknik yang akan dipersiapkan sebagai kader potensial di PT Santan Batubara Tbk dan Group
Persyaratan:
1. Warga Negara Indonesia (WNI)
2. IPK minimal 2,75 (skala 4.00), lulusan dari Perguruan Tinggi Negeri/Swasta (Akreditas program studi minimal B), jurusan:
- Psikologi
- Akuntansi
- Ekonomi Manajemen
- Manajemen SDM
- Manajemen Pemasaran
- Perpajakan
- Manajemen Pertanahan
- Hukum Perdata/Bisnis
- Kesehatan Keselamatan Kerja
- Tata Laksana
- Teknik Industri
- Teknik Metalurgi
- Teknik Elektronika
- Teknik Elektro
- Teknik Mesin
- Mesin/Konsenstrasi Material
- Kimia Murni (MIPA)
- Kimia Analis
- Teknik Kimia
- Teknik Sipil
- Teknik Informatika
- Teknik Komputer
- Sistem Informasi
- Teknik Lingkungan
• Hanya pelamar yang memenuhi kualifikasi dan mengirim via email yang akan kami proses.
Tuliskan nama posisi yang anda inginkan di subject email tuliskan nama situs info lowongan (darimana anda mengetahui info tersebut) max data 256 kb ( cv&lamaran berada di 1file yang sama, berbentuk word/pdf )
• Tugas :
• Kirimkan Surat Lamaran & Daftar Riwayat Hidup lengkap (hp&email aktif) Disertai pas foto 4x6 dan di alamatkan kepada :
• Yth, Manager HRD PT. Santan Batubara
• Email : bpt.santan@yahoo.co.id
Hanya kandidat yang memenuhi syarat terbaik akan diberitahu untuk proses seleksi.

Lomba Jepret Pemilu 2014 (Deadline: 20 Maret 2014)


Lomba Jepret Pemilu 2014 ini diselenggarakan oleh VIVAnews.com, sistematika dari lomba ini adalah, Anda cukup mengupload foto dokumentasi pemilu Anda ke halaman VIVAnews, dan selesai. Berikut informasinya.

Timeline:
Periode Lomba Jepret Pemilu: 25 September 2013 - 20 Maret 2014.
Pengumuman pemenang: 31 Maret 2014.

Hadiah
  • Samsung SIII Mini. 
  • 5 buah HP Blackberry Gemini
  • 5 buah HP Esia C 2808 E
  • 7 buah USB 16 GB

Syarat dan Ketentuan
  • Peserta harus melakukan registrasi terlebih dahulu 
  • Peserta memposting foto bertemakan Pemilu.
  • Objek foto boleh benda atau manusia, tidak mengandung SARA. 
  • Ukuran foto yang diupload 325 x 183. 
  • Peserta boleh memposting lebih dari satu foto. 
  • Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat. 
  • Upload Foto Anda dihalaman ini 
Registrasi

Senin, 27 Januari 2014

LOWONGAN KERJA 2014 PT.PERTAMINA PATRA NIAGA.


PERTAMINA PATRA NIAGA adalah merupakan anak perusahaan PT Pertamina (Persero).Untuk mencapai visi perusahaan,PERTAMINA PATRA NIAGA berupaya untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi yang progresif dan terarah dengan standar keselamatan yang tinggi dan kualitas sumber daya manusia yang kompetitif. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pekerja yang handal secara kuantitas dan kualitas, PERTAMINA PATRA NIAGA memberikan kesempatan kepada putra-putri Indonesia untuk bergabung menjadi pekerja melalui Program Rekrutmen Pekerja Fresh Graduate, untuk ditempatkan di seluruh wilayah kerja PERTAMINA PATRA NIAGA, dengan ketentuan dan persyaratan sebagai berikut :
  1. Lulus dari Perguruan Tinggi / Universitas / Institusi Pendidikan Negeri atau Swasta terakreditasi, dengan bidang studi sebagai berikut :
Bidang Studi :
1. Teknik Geologi
2. Teknik Geofisika
3. Teknik Perminyakan
4. Teknik Pertambangan
5. Teknik Kimia
6. Teknik Mesin
7. Teknik Sipil
8. Teknik Elektro - Arus Kuat
9. Teknik Elektro - Arus Lemah
10. Teknik Fisika
11. Teknik Instrumen
12. Teknik Geodesi
13. Teknik Lingkungan
14. Teknik Metalurgi
15. Kesehatan Masyarakat
16. Ilmu Komputer
17. Teknik Telekomunikasi
18. Teknik Informatika
19. Teknik Komputer
20. Teknik Industri
21. Psikologi
22. Ilmu Komunikasi
23. Hukum
24. Ekonomi
Bersedia mengikuti seluruh tahapan proses seleksi di lokasi test yang ditentukan.
REKRUITMENT PEKERJA PT.PERTAMINA PATRA NIAGA TAHUN 2014
Ketentuan:
· Pelamar yang akan diundang untuk mengikuti tahapan seleksi adalah yang memenuhi kualifikasi yang ditetapkan dan masuk dalam shortlisted kandidat berdasarkan evaluasi Tim Rekrutmen PT.PERTAMINA PATRA NIAGA
· Pelamar yang tidak diundang dalam batas akhir pemasangan iklan ini, untuk mengikuti tahapan proses seleksi dinyatakan tidak lulus dalam seleksi.
· Pelamar yang telah mengirimkan lamaran berdasarkan iklan ini dan diundang untuk mengikuti proses seleksi, maka secara otomatis dinyatakan bersedia mengikuti seluruh ketentuan dalam proses rekrutmen dan pengangkatan calon pekerja fresh graduate PT.PERTAMINA PATRA NIAGA
· Pelamar yang diundang untuk mengikuti tahapan seleksi bersedia untuk mengikuti proses seleksi di lokasi test yang ditentukan.
· Kelengkapan dokumen akan diminta apabila saudara dipanggil untuk mengikuti tahapan seleksi, yang meliputi: Surat Lamaran, Curriculum Vitae, Foto Copy Ijazah, Foto Copy Transkrip Nilai, dan Pas Foto terbaru berwarna ukuran 4x6 sebanyak 2 lembar.
· Apabila data yang saudara isikan dalam formulir ini berbeda dari dokumen otentik yang diserahkan dan tidak sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan, baik pada masa proses seleksi, pre-employment program maupun setelah menjadi pekerja, maka berlaku sanksi sesuai ketentuan di PERTAMINA PATRA NIAGA
Bagi Anda yang tertarik dengan persyaratan di atas Lowongan Kerja PT PPN, maka bisa segera mengirimkan Aplikasi Lamaran kerja dan CV lengkap serta foto terakhir ukuran 4×6,nomor telpon yang mudah dihubungi dan data pendukung lainnya, dikirim ke :
e-mail : recruitment.patra_niaga@yahoo.com

Jumat, 24 Januari 2014

SOSIAL BUDAYA SULAWESI TENGAH


Sosial Budaya Sulawesi Tengah
Ibukota Sulawesi Tengah adalah Palu. Kota ini terletak di Teluk Palu dan terbagi dua oleh Sungai Palu yang membujur dari Lembah Palu dan bermuara di laut. Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 19 kelompok etnis atau suku, yaitu:
1.        Etnis Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu
2.        Etnis Kulawi berdiam di kabupaten Donggala
3.        Etnis Lore berdiam di kabupaten Poso
4.        Etnis Pamona berdiam di kabupaten Poso
5.        Etnis Mori berdiam di kabupaten Morowali
6.        Etnis Bungku berdiam di kabupaten Morowali
7.        Etnis Saluan atau Loinang berdiam di kabupaten Banggai
8.        Etnis Balantak berdiam di kabupaten Banggai
9.        Etnis Mamasa berdiam di kabupaten Banggai
10.    Etnis Taa berdiam di kabupaten Banggai
11.    Etnis Bare'e berdiam di kabupaten Touna
12.    Etnis Banggai berdiam di Banggai Kepulauan
13.    Etnis Buol mendiami kabupaten Buol
14.    Etnis Tolitoli berdiam di kabupaten Tolitoli
15.    Etnis Tomini mendiami kabupaten Parigi Moutong
16.    Etnis Dampal berdiam di Dampal, kabupaten Tolitoli
17.    Etnis Dondo berdiam di Dondo, kabupaten Tolitoli
18.    Etnis Pendau berdiam di kabupaten Tolitoli
19.    Etnis Dampelas berdiam di kabupaten Donggala
Dari 19 kelompok/ etnis tersebut, Jumlah tokoh pemangku adat adalah sebanyak 216 orang. Di samping 12 kelompok etnis, ada beberapa suku terasing hidup di daerah pegunungan seperti suku Da'a di Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea di Banggai dan suku Daya di Buol Tolitoli. Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang saling berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya, namun masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar sehari-hari.
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan masyarakat Bugis dan Makasar serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.128.000 jiwa yang mayoritas beragama islam, lainnya Kristen, Hindu dan Buddha. Tingkat toleransi beragama sangat tinggi dan semangat gotong-royong yang kuat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan diketuai oleh ketua adat disamping pimpinan pemerintahan seperti Kepala Desa. Ketua adat menetapkan hukum adat dan denda berupa kerbau bagi yang melanggar. Umumnya masyarakat yang jujur dan ramah sering mengadakan upacara untuk menyambut para tamu seperti persembahan ayam putih, beras, telur dan tuak yang difermentasikan dan disimpan dalam bambu. Secara tradisional, masyarakat Sulawesi Tengah memiliki seperangkat pakaian adat yang dibuat dari kulit kayu ivo (sejenis pohon beringin) yang halus dan tinggi mutunya. Pakaian adat ini dibedakan untuk kaum pria dan kaum wanita. Unsur-unsur adat dan budaya yang masih dimiliki antara lain:
1.        Pakaian adat terbuat dari kulit kayu ivo
2.        Rumah adat yang disebut tambi
3.        Upacara adat
4.        Kesenian (Modero/ tari pesta menyambut panen, Vaino/ pembacaan syair-syair yang dilagukan pada saat kedugaan, Dadendate, Kakula, Lumense dan PeuleCinde/ tari untuk menyambut tamu terhormat, Mamosa/ tarian perang, Morego/ tari menyambut pahlawan, Pajoge/ tarian dalam pelantikan raja/ pejabat dan Balia/ tarian yang berkaitan dengan kepercayaan animisme).
Selain mempunyai adat dan budaya yang merupakan ciri khas daerah, di Sulawesi Tengah juga memiliki kerajinan-kerajinan yang unik juga yaitu:
1.        Kerajinan kayu hitam (ebony)
2.        Kerajinan anyaman
3.        Kerajinan kain tenun Donggala dan
4.        Kerajinan pakaian dari kulit ivo.
Secara Umum kondisi keberagamaan agama yang dianut oleh masyarakat pada tahun 2005 terdiri dari:
1.        Masyarakat penganut Agama Islam dengan tingkat persentase sebesar 78,9%
2.        Masyarakat penganut Agama Kristen Protestan dengan tingkat persentase sebesar 16,29%
3.        Masyarakat penganut Agama Kristen Katolik dengan tingkat persentase sebesar 1,47%
4.        Masyarakat penganut Agama Hindu dengan tingkat persentase sebesar 3,07%
5.        Masyarakat penganut Agama Buddha dengan tingkat persentase sebesar 0,68%.
Keberagaman pemeluk agama di Sulawesi Tengah di komunikasikan melalui Forum Komunikasi Antar Umat Beragama yang berfungsi mendinamisir kerukunan kehidupan antar umat beragama, intern umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah, dengan pola saling menghargai antar satu sama lainnya.
Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian penduduk dengan padi sebagai tanaman utama. Kopi, kelapa, kakao dan cengkeh merupakan tanaman perdagangan unggulan daerah ini dan hasil hutan berupa rotan, beberapa macam kayu seperti agatis, ebony dan meranti yang merupakan andalan Sulawesi Tengah.
Budaya Sulawesi Tengah Secara Umum
Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama. Karena banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah Luwuk dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.
Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan. Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-pusat penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India dan Jepang masih dapat ditemukan. Sementara masyarakat pegunungan memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang dan hanya memiliki satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri. Buya atau sarung seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa. Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat.
Suku-Suku Di Sulawesi Tengah
1.      Suku Kaili
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso. Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut. Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu.

a.       Bahasa

Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yang berbeda satu dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise, Lasoani, Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti, Banawa, Loli, Dalaka, Limboro, Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya,  Sibovi dan Pandere), bahasa Edo (Pakuli, Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da'a (Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan Poso). Uniknya, semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".
b.      Sosial Budaya
Sebagaimana suku-suku lainnya di wilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat. Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian (no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam. Selain itu terdapat alat musik kaili. Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain : Kakula (disebut juga gulintang, sejenis gamelan pentatonis), Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo (gong), suli (suling).
Salah satu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani, Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe, tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe ini pun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam, seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Di daerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro) dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari Minangkabau bernama Abdul Raqi. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah kaili, Abdul Raqi dikenal dengan nama Dato Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat kemampuan beliau yang berada diluar kemampuan manusia pada umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang dibawah pengawasan Pemerintah Daerah. Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).
2.      Suku Kulawi
Kulawi terletak di pegunungan bagian selatan 17 km dari Palu. Yang dikenal dengan budayanya yang unik. Kulawi merupakan kawasan pegunungan yang dikelilingi oleh ladang padi, sayuran dan cengkeh. Masyarakat beragama Kristen dengan Kulawi sebagai pusatnya. Bala keselamatan menyebar di bagian timur Indonesia termasuk di Kulawi dan mereka memiliki gereja dan rumah sakit. Akan tetapi budaya tradisional tetap berakar kokoh di masyarakat. Dan festival dilaksanakan menurut tradisi lama. Pakaian wanita Kulawi cukup menarik yang dipakai ketika upacara atau bergereja di hari Minggu. Disana terdapat penginapan untuk menginap milik Pemerintah. Musik Bambu-Orkestra Tradisional merupakan kebanggaan masyarakat dataran Lindu, Kulawi dan Poso. Suku-suku tersebut berdiam di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah sebagai bagian dari khasanah kebudayaan yang saat ini masih bertahan.
Tahun 1905 di Bulu Momi terjadi perang antara masyarakat Kulawi melawan kolonial Belanda dibawah pimpinan seorang pahlawan Kulawi yaitu Towualangi yang juga disebut Taentorengke. Ketika perang berlangsung, pada saat itu pula kolonial Belanda mulai berkuasa di Kulawi untuk menjadikan Kulawi sebagai daerah kerajaan, maka pada tahun 1906 Kolonial Belanda mengangkat Towualangi menjadi raja Kulawi yang pertama. Dan oleh kolonial Belanda wilayah dataran Lindu masuk kedalam wilayah administrasi Kerajaan Kulawi. Sejarah menunjukkan bahwa pada mulanya penduduk Lindu terdiri atas 7 pemukiman yang disebut Pitu Ngata. Dan untuk mengatur tatanan hidup masyarakat Pitu Ngata itu, ada sebuah lembaga yang disebut Maradika Ngata yang terdiri dari empat orang lembaga dengan sebutan 1. Jogugu, 2. Kapita, 3. Pabisara dan 4. Galara. Keempat Lembaga ini berfungsi sebagai Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Ketika kolonial Belanda berkuasa di Kulawi, maka pada tahun 1908 dataran Lindu yang terdiri dari Pitu Ngata diresetlement menjadi 3 pemukiman yaitu menjadikan :
1.    Penduduk yang bermukim di Langko dan Wongkodono dikumpulkan menjadi satu di Langko.
2.    Penduduk yang bermukim di Olu, Luo, Palili dikumpulkan menjadi satu tempat pemukiman di Tomado.
3.    Penduduk yang bermukim di Paku Anca, dikumpulkan menjadi satu tempat pemukiman di Anca.
Untuk Mengatur tempat pemukiman baru tersebut, maka pemerintah kolonial Belanda menunjuk Lakese menjadi Kepala Kampung yang pertama di tiga tempat pemukiman baru itu, dengan tugas pokok yaitu : membangun rumah tinggal penduduk di tempat pemukiman yang baru dan membuka areal persawahan penduduk di sekitar wilayah Langko. Sesudah penunjukan kepala kampung yang pertama Lakese, sesuai tuntutan perkembangan dari ketiga wilayah pemukiman tersebut, berdasarkan perencanaan pemerintah kolonial Belanda maka pemukiman baru menjadi 3 desa, yaitu desa Langko, Tomado dan Anca, sebagaimana yang ada sampai sekarang ini.
Pada tahun 1960 sesuai dengan perkembangan penduduk di kecamatan Kulawi, sebagian penduduk desa Lonca dan Winatu kecamatan Kulawi diresetlemen ke wilayah bagian selatan desa Langko yang disebut Puroo. Atas kebijakan pemerintah kecamatan Kulawi pada waktu itu, sehingga memicu berbagai reaksi keras dari masyarakat Lindu karena merasa integritas wilayahnya terganggu. Masalah yang memicu keadaan pada waktu itu terjadi penembakan hewan kerbau dan sapi secara brutal yang dilakukan oleh Londora Kodu, mantan Tentara KNIL sebagai pejabat kepala kampung Langko, yang ditempatkan oleh pemerintah kecamatan Kulawi yang dijabat oleh Ibrahim Bandu B.A.
Akibat masalah tersebut diatas, maka masyarakat 3 desa itu semakin sulit dikendalikan oleh pemerintah kecamatan Kulawi sehingga masyarakat Lindu diembargo perekonomiannya oleh pemerintah kecamatan Kulawi selama 3 bulan. Akibat embargo tersebut, masyarakat Lindu mengeluarkan ancaman untuk bergabung dengan kecamatan Sigi Biromaru. Ancaman masyarakat Lindu ditanggapi dengan serius pemerintah kecamatan Kulawi dengan mencabut kembali sanksi ekonomi tersebut. Setelah keadaaan masyarakat Lindu menjadi tenang, mulai saat itu pula desa Puroo sudah menjadi satu kesatuan wilayah dataran Lindu sehingga sampai saat ini, desa-desa dataran Lindu menjadi empat desa terdiri dari : Desa Puroo, Langko, Tomado dan Anca yang disingkat dengan PLTA. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan ketertiban masyarakat adat Lindu, kepala desa dibantu oleh lembaga adat desa. Dan diatas lembaga masing-masing desa dibentuk Lembaga Masyarakat Adat Dataran Lindu.
Masyarakat adat Lindu telah mengenal pembagian zona pemanfaatan dan perlindungan yang ditetapkan oleh nenek moyang mereka yaitu ;
1)      Suaka Ngata.
Suaka Ngata adalah keseluruhan wilayah adat yang dibatasi puncak bulu/gunung yang disebut diatas.
2)      Suaka Ntodea.
Suaka Ntodea adalah wilayah pemanfaatan yang dapat dikonversi menjadi sawah atau tempat pemukiman. Hak pemanfaatan di Suaka Ntodea dibatasi oleh hak-hak perorangan (privat individual), seperti Ombo dan ketentuan lainnya, misalnya larangan menebang pohon enau.
Lahirnya hak perorangan (privat individual) dimulai ketika seseorang membuka Pangale (hutan perawan) untuk dijadikan ladang. Dahulu masyarakat Lindu masih menggunakan sistim perladangan berotasi. Masyarakat mengelolah lahan selama dua atau tiga musim, kemudian diistirahatkan dan membuka ladang di tempat lain, misalnya membuka hutan perawan yang baru atau mengolah ladang yang telah diistirahatkan. Ladang yang diistirahatkan disebut dengan Ngura. Jika seseorang membuka pangale dan menjadikan ladang, tetapi orang itu mengurunkan pengolahannya karena sesuatu pertimbangan, maka Ladang ini sebut Taluboo. Namun tanah itu sudah merupakan milik si pembuka Pangale tersebut.
3)      Suaka Nu Maradika.
Suaka Nu Maradika atau diberi nama lain yaitu Lambara adalah tempat perburuan dan melepaskan hewan ternak kerbau. Dan terdapat beberapa lambara Nu Maradika, seperti di Walatana (dekat Langko), Bulu Jara (dekat Tomado), Tongombone (dekat Olu), Kana (dekat Luo/Palili), Bamba (dekat Paku), Malapi (dekat Anca), dan Keratambe (dekat Tomado).
4)      Suaka Nuwiata.
Wiata dalam bahasa Lindu berarti roh makhluk yang sudah meninggal atau makhluk “halus”. Di kalangan orang Lindu yang masih memegang teguh tradisinya terdapat kepercayaan kuat yang meyakini bahwa roh orang yang sudah meninggal dunia sebenarnya mendiami daerah-daerah tertentu. Roh itu pada waktu-waktu khusus datang ke tempat sanak keluarganya yang masih hidup. Misalnya pada saat upacara adat panen.
Dalam tradisi orang Lindu, Suaka Nu Wiata adalah wilayah konservasi yang mutlak. Di tempat ini, seseorang tidak dibolehkan masuk apalagi sampai melakukan kegiatan menebang kayu atau kegiatan yang sifatnya merusak hutan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan memperoleh sanksi adat yang Suaka Nu Wiata tidak hanya terletak di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk, tetapi juga terdapat di tempat yang dekat dengan perkampungan. Sehingga di tepi jalan antara desa Langko, Tomado dan Anca terdapat hutan yang cukup lebat. Hutan-hutan ini terletak jauh dari tapal batas Taman Nasional yang ditetapkan pemerintah.
Dalam wilayah Suaka Nu Wiata ini pula berdasarkan pengamatan, ternyata terdapat fokus keong. Dalam istilah kesehatan disebut penyakit Schistosomiasis. Sehingga keadaan ini patut menjadi perhatian pemerintah, dalam hal ini instansi Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala dalam upaya pemberantasan penyakit endemik Schistosomiasis dimasa mendatang. Aturan adat kami sangat sejalan dengan konservasi dan penduduk asli di Lindu tidak ada yang merambah hutan. Babirusa, Babi hutan, bahkan Rusa tidak kami buru dan makan, karena menurut kepercayaan setelah meninggal orang jadi rusa sehingga kami ada semacam rasa jijik untuk memakannya. Dengan datangnya pendatang seperti melalui program transmigrasi lokal tahun 1960an awal yang jadi kini desa Puro’o, atau orang Puroo yang pindah ke Kangkuro, saat itu banyak hutan yang dirambah dan satwa semacam rusa sudah susah dijumpai, padahal dulu banyak sekali. Dengan adanya KKM sekarang ini mudah bagi kami untuk memberikan pengertian bagi pendatang tentang adat dan budaya Lindu. Adanya KKM juga lebih menguatkan aturan Adat Lindu, karena wilayah KKM adalah bagian dari wana ngkiki atau suaka wiata yang harus kami jaga keberadaan dan kelestariannya demi menghormati leluhur.
3.      Suku Pamona
Suku Pamona, atau sering juga disebut suku Poso, mendiami hampir seluruh wilayah kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una-Una, Morowali,bahkan Propinsi Sulawesi Selatan (Luwu Utara). Sedangkan sebagian kecil hidup merantau di berbagai daerah di Indonesia. Jika di suatu daerah terdapat suku Pamona, biasanya selalu ada Rukun Poso, yaitu wadah perkumpulan orang-orang sesuku untuk melakukan sesuatu kegiatan di daerah tersebut. Agama yang dianut hampir seluruh anggota suku ini adalah Kristen. Agama Kristen masuk daerah sekitar 100 tahun yang lalu dan sampai sekarang diterima sebagai agama rakyat. Sekarang semua gereja-gereja yang sealiran dengan gereja ini bernaung dibawah naungan organisasi Gereja Kristen Sulawesi tengah (GKST) yang berpusat di Tentena, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sebagian besar masyarakat sehari-hari menggunakan bahasa Pamona (Bare'e) dan bahasa Indonesia dengan gaya bahasa setempat. Mereka berprofesi sebagai Petani, Pegawai Negeri, Pendeta, Wiraswasta, dan lain-lain.
Sesungguhnya suku Pamona tidak identik dengan suku Poso, Karena pada prinsipnya suku Poso tidak ada. Yang ada adalah daerah yang bernama Poso, didiami oleh suku Pamona. Kata "Poso" sendiri dalam bahasa Pamona berarti "pecah". Asal nama Poso yang berarti pecah, konon dimulai dari terbentuknya Danau Poso. Konon, danau Poso terbentuk dari sebuah lempengan tanah berbukit, dimana dibawah lempengan bukit tersebut terdapat mata air. Disekeliling bukit merupakan dataran rendah, sehingga aliran air dari pegunungan terkumpul disekeliling bukit tersebut. Genangan air tersebut menggerus tanah disekeliling bukit sehingga makin lama air yang menyisip kedalam tanah, bertemu dengan air yang di dalam perut bumi. Akibatnya terjadi abrasi yang menjadi penyebab labilnya struktur tanah yang memang agak berpasir. Lambat laun pinggiran bukit tidak kuat lagi menahan beban bukit yang diatasnya, sehingga mengakibatkan pecahnya bukit yang terbawah masuk, jatuh kedalam kubangan mata air dibawah bukit, sehingga membentuk danau kecil.
Bagi masyarakat suku Pamona zaman tersebut kejadian tersebut dituturkan sebagai pecahnya gunung yang membentuk danau tersebut, sehingga dinanai "Danau Poso" Danau yang baru terbentuk tersebut, kian lama kian membesar, karena sumber mata air di pegunungan sekelilingnya mengalir kearah danau baru tersebut. Akibatnya debit air danau dari waktu ke waktu terus naik, sehingga luas permukaannya menjadi demikian lebar. sesuai dengan sifat air yang selalu mencari dataran rendah, maka pada ketinggian permukaan tertentu, tebentuklah sebua sungai yang mengarah ke pantai laut akibat danau tidak mampu lagi menampung debit air. Karena sungai tersebut berasal dari danau Poso, maka sungai baru tersebut, dinamai dengan nama yang sama, yakni Poso (sungai Poso). Muara sungai baru yang terbentuk itu kemudian didiami oleh sejumlah penduduk, karena di sungai baru tersebut ternyata terdapat banyak ikan. Kumpulan penduduk pemukim baru itu kemudian menamai kampung tersebut dengan sebutan yang sama, yakni Poso.
Tarian Dero, atau madero merupakan tarian populer di kalangan Suku Pamona. Tarian ini diadakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilakukan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar dilakukan dengan saling bergandengan tangan, sambil berbalas pantun diringi musik ceria. Beberapa daerah di Palu melarang kegiatan tarian dero atau madero karena sering menjadi pemicu perkelahian antar pemuda yang saling berebut perhatian gadis-gadis.
Mengikuti kebiasaan orang Eropa yang mempunyai nama keluarga atau marga atau fam, maka orang Pamona juga mempunyai marga-marga seperti berikut : Banumbu, Bali'e, Baloga, Betalino, Beto, Botilangi, Bulinde, Bungkundapu, Bungu, Buntinge, Gilirante, Gimbaro, Gugu, Gundo, Kampindo, Kalembiro, Kalengke, Karebungu, Kayori, Kayupa, Kogege, Kolombuto, Kuko, Langgari, Lambangasi, Labiro, Liante, Lu'o, Lumaya, Manganti, Meringgi, Mossepe, Mowose, Nyolo-nyolo, Nggau, Nggo'u, Nua, Nyaua, Pakuli, Palaburu, Parimo, Paroda, Pasunu, Patara, Pebadja, Penina, Penyami, Pesudo, Poa, Pobonde, Podala, Purasongka, Pusuloka, Rampalino, Rampalodji, Rantelangi, Rare'a, Ruagadi, Rubo, Ruutana, Sancu'u, Sawiri, Sigilipu, So'e, Sowolino, Tabanci, Tadalangingi, Talasa, Tarante, Tasiabe, Tawuku, Tawurisi, Tekora, Tepara, Tiladuru, Tobondo, Tolimba, Toumbo, Ule, Ululai, Warara, Werokila nce'i to mori, Wuri,Wutabisu, dll.
Jika mengunjungi Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), terdapat suatu Gua Pamona. Gua tersebut terletak persis di sebelah Danau Poso, kawasan yang sudah terkenal keindahannya sehingga telah menjadi salah satu tujuan wisata mistis dan unik karena letak sebagian Gua tersebut berada di bawah Danau Poso. Gua yang namanya sama dengan suku asli orang Poso tersebut terletak di Desa Sangele, Kecamatan Pamona Utara, 56 kilometer dari Kota Poso. Mulut Gua Pamona menghadap ke selatan dengan lebar dua meter.
Dulunya, gua tersebut memiliki panjang lebih dari 200 meter. Karena perubahan kondisi alam dan adanya beberapa reruntuhan, akhirnya panjangnya hanya sebatas itu. Letak gua yang dalam menyebabkan oksigen di dalamnya relatif sedikit. Hal itu membuat pengunjung merasa gerah dan cepat lelah saat menyusuri jalan dalam gua. Pencahayaan di gua tersebut juga sangat minim, hanya mengandalkan cahaya matahari yang berasal dari celah-celah bebatuan di atasnya. Suasana di dalam menjadi remang-remang dan menambah miris orang yang percaya pada cerita mistis.
Menurut cerita masyarakat setempat, selama ratusan tahun silam gua tersebut berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan jenazah raja atau kaum bangsawan suku Pamona dan keluarganya. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kerangka manusia dan keranda yang masih ada di dalamnya. Banyak warga setempat meyakini gua tersebut merupakan salah satu tempat asal-usul leluhur mereka. Sampai kini gua tersebut banyak dikunjungi masyarakat dari luar Poso, terutama pada akhir pekan atau hari libur. Setelah puas menyusuri gua tersebut, biasanya pengunjung menyempatkan untuk mandi di Danau Poso yang airnya selalu jernih.
Dalam gua tersebut juga terdapat delapan kamar atau ruang yang sangat gelap dan lembap. Ruang tersebut dahulunya berfungsi menyimpan jenazah suku Pamona yang disesuaikan dengan status sosialnya. Jenazah yang disemayamkan tersebut biasanya disertai perangkat kubur, seperti pakaian atau barang-barang berharga milik jenazah semasa hidupnya.
Namun seiring banyaknya pengunjung, tidak jarang ada yang usil dengan mengambil kerangka atau bagian goa yang sangat tinggi nilai sejarahnya itu. Pemerintah setempat juga telah menetapkan gua tersebut sebagai situs sejarah yang dilindungi, selain beberapa gua lain, seperti Gua Tangkaboba dan Gua Latea. Kepala Bagian Infokom Kabupaten Poso Amir Kiat mengatakan keberadaan gua tersebut menjadi salah satu paket kunjungan wisata yang menarik bersama Danau Poso. "Setelah mengunjungi Danau Poso, kalau tidak mengunjungi Gua Pamona rasanya kurang lengkap," ujarnya. Di sekitar lokasi wisata tersebut juga terdapat penginapan untuk memanjakan wisatawan. Selain itu, terdapat beberapa rumah makan yang menyediakan menu khas Tentena, seperti ikan sogili atau sidat. Sogili merupakan ikan endemik di Danau Poso yang bentuknya mirip ikan lele. Sogili dapat dimasak dengan berbagai cara seperti direbus, dibakar atau digoreng. Tapi masyarakat setempat biasanya lebih menyukai sogili bakar. Rasanya sangat gurih dan dagingnya kesat.
4.      Suku Banggai
Suku Banggai adalah Suku di Kabupaten Banggai Kepulauan - Sulawesi Tengah. Kabupaten Banggai Kepulauan terbentuk dari hasil pemekaran berdasarkan UU No. 51 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan serta diresmikan tanggal 3 November 1999. Suku Banggai dengan bahasa Banggai adalah suku asli yang mendiami Kepulauan Banggai. Di Kepulaun Banggai ini memang cuma satu suku asli yaitu Suku Banggai. Sedangkan yang tinggal di Kab Banggai Kepulauan ini banyak sukunya, dari berbagai suku di indonesia.
Mungkin tak ada yang mengira bahwa gugusan kepulauan dengan pulau terbesarnya Peling, menyimpan sejuta catatan yang mengagumkan. Suku Banggai, merupakan suku yang mendiami Kepulauan Banggai, yang sebelumnya bernama asli Suku Sea-sea, yang awalnya dari kerajaan-kerajaan kecil, kemudian utuh yang kini bernama Kerajaan Banggai, kerajaan ini mempunyai kekuasaan yang cukup luas, bahkan hampir setengah dari wilayah Sulawesi Tengah, namun hingga kini setelah berdirinya Pemerintahan RI, cakupan wilayah Kerajaan Banggai hanya pada Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai, dengan menaungi tiga suku, yaitu Suku Banggai, Saluan, dan Balantak. yang meninggalkan bukti sejarah  antara lain Keraton Kerajaan di kota Banggai. walaupun satu kerajaan, namun ketiga dari suku ini mempunyai Adat Istiadat yang sangat berbeda.
Kerajaan yang berada di sebelah timur Pulau Sulawesi, atau juga di sebelah Barat Laut dari Laut Banda, Suku Banggai yang merupakan suku terbesarnya, yang juga mendiami Kepulauan Banggai, seperti suku-suku besar yang lainnya, adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam suku Banggai sangatlah banyak dan beragam, mulai dari penggunaan bahasa tradisional (Banggai) sebagai bahasa sehari-hari hingga adat pernikahanpun tak lepas dari tradisi yang berkembang. Walau kini tradisi banyak tradisi yang punah dan mulai di gali kembali, namun cukup banyak tradisi yang masih melekat dalam masyarakat, terutama kesenian tradisionalnya.
Seba Adat atau dalam bahasa indonesianya adalah musyawarah adat, merupakan wadah untuk program adat yang bertujuan di antaranya untuk mempertahankan adat istiadat yang ada pada masing-masing suku di kerajaan Banggai, karena memang Seba Adat di adakan oleh Perangkat Adat atau Kerajaan Banggai oleh Raja, atau Tomundo dalam bahasa Banggai, yang di hadiri oleh Basalo, yaitu sejenis kepala adat dalam cakupan kedaerahan kecamatan atau desa yang dari suku banggai, sedangkan dari Saluan dan Balantak bernama Bosano dan Bosanyo. Selain Basalo, masih banyak perangkat adat lainnya yang membantu kegiatan Basalo, misalnya Kapitan. Dalam perangkat kerajaan juga ada yang di sebut Mian Tuu, dan masih banyak lagi jabatan-jabatan adat yang membantu dalam kepengurusan kerajaan Banggai, yang mana kegiatan Seba ini di adakan setiap tahunnya untuk Evaluasi hasil kerja atau P    Kembali pada tradisi Banggai, ada sangat banyak dari tradisi yang melekat dalam masyarakat yang memang sangat menarik, musik yang di antaranya; batongan, kanjar, libul dan lain sebagainya, juga ada tarian, yang termasuk Onsulen, Balatindak, Ridan dll, juga cerita rakyat atau legenda yang sangat banyak yang di kenal dengan nama Banunut, lagu atau puisi yaitu Baode, Paupe dan masih banyak lagi kesenian tradisional lainnya, ada beberapa tradisi ini yang masih dipegang secara menyeluruh dari suku Banggai, misalnya pada saat perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad saw, para masyarakat suku Banggai akan membuat sejenis kue yang di beri nama Kala-kalas, ada juga yang menyebutnya kaakaras. Kue ini tebuat dari tepung beras yang bentuk jadinya di goreng, dan kue ini sangat unik sekali, bahkan hanya akan di jumpai pada saat perayaan Maulid Nabi saw saja. Selain itu, masih banyak tradisi lainnya, Upacara Adat misalnya, upacara pelantikan Tomundo, upacara pelantikan Basalo, dan lain sebagainya.
Tradisi-tradisi dalam masyarakat pun bahkan beragam, masyarakat yang tinggal di tepian pantai dengan masyarakat yang tinggal di pedalaman akan memberikan suatu gambaran yang jauh berbeda, kesenian, upacara adat, bahkan kehidupan adat sehari-haripun tidak banyak menunjukan kesamaan, contohnya, ada sebuah upacara adat atau perayaan ketika para nelayan telah menangkap ikan, yang cara menangkapnya di kenal dengan nama sero, sedangkan di pedalaman akan ada penanaman sejenis Umbi yang memang satu-satunya di dunia ini hanya terdapat dan berasal dari Banggai, sehingga di kenal dengan nama Ubi Banggai, ini akan memberikan suatu cerita tersendiri yang sangat menakjubkan, yang di mulai dari proses hingga selesai, akan banyak sisi-sisi kehidupan tradisi yang memberikan gaya artistik yang sangat berharga.rogram dan perencanaan yang baru dalam setiap gerak masyarakat adat Banggai. Berburu merupakan salah satu kegiatan yang dari zaman pra kerajaan Banggai, namun hingga kini, berburu atau yang dalam bahasa Banggai dikenal dengan nama Baasu itu masih sering di jumpai di daerah pedalaman, terutama di kawasan Pulau Peling.
Masih sangat banyak tradisi yang melekat pada masyarakat adat maupun yang sudah mulai memudar seiring pekembangan zaman, namun di balik itu semua, masih menyimpan sejuta makna dan sejuta misteri untuk di gali dan di kembangkan. yang pasti, marilah kita sama-sama menjaga adat dan istiadat kita, karena inilah harga diri suku dan kerajaan kita.
5.      Suku Tomini
Suku Tomini berdiam di sebelah barat laut Pulau Sulawesi. Mereka menggunakan bahasa Tomini, namun berbagai sub-suku Tomini ini memakai bahasa yang berbeda-beda, akibat interaksi dengan berbagai suku, melalui perdagangan.
*      Sosial budaya
Pada jaman dahulu, Tomini diperintah oleh Kesultanan, yang berarti setiap suku dikepalai oleh seorang pemimpin secara turun temurun beserta dengan para pembantunya. Pada waktu itu ada 4 kelas dalam masyarakat : kelompok raja, kaum bangsawan, orang awam, dan budak. Suku Tomini di pesisir bercocok tanam menghasilkan cengkeh dan kopra. Beberapa di antara mereka mencari nafkah sebagai pedagang, penebangan kayu atau pelaut. Orang Tomini di pegunungan bertanam padi dan jagung. Mereka juga mengumpulkan rotan untuk dijual di daerah pesisir. Perkampungan Tomini terdiri dari rumah-rumah kecil yang dibangun di atas tiang-tiang (rumah panggung), yang berlokasi di sepanjang garis pantai pulau ini.
Pola perkawinan mereka mengikuti pola perkawinan Islam. Seorang perantara merundingkan mas kawin untuk mempelai wanita yang tergantung dari status sosial gadis tersebut. Pernikahan antar sepupu bida diterima; dan poligami diijinkan walau tidak banyak dilakukan. Setelah menikah, pasangan pengantin biasanya tinggal dengan keluarga besar mereka, sampai anak pertama lahir. Orang Tomini penganut Islam Sunni, suatu aliran agama Islam yang berpegang pada tradisi ortodoks. Di daerah-daerah pedalaman di pegunungan, ada juga kelompok-kelompok orang Tomini yang mempraktekkan animisme. Mereka mempercayai bahwa alam dan benda-benda mati itu mempunyai roh. Orang Tomini yang menganut animisme ini dikenal sebagai suku terasing.
6.      Suku Bugis
Adat istiadat suku bugis adalah salah satu suku yang dikenal piawai mengarungi lautan sangat menentang asimilasi budaya luar. Dalam budaya suku bugis terdapat tradisi ade’atau adat dan konsep spiritual. Konsep ade ini menjadi tema utama dalam catatan-catatan hokum. Masyarakat tradisional suku bugis mengacu kepada konsep pang’ade reng atau adat istiadat merupakan norma yang saling terkait satu sama lain. Kehidupan sehari-hari masyarakat bugis sangat memprhatikan adat istiadat, misalnya memperhatikan hubungan harmonis antar sesame manusia. Hal-hal ersebut dapat diperhatikan dalam kehidipan sehari-hari seperti mengucapkan tabe yang artinya permisi. Ucapan ini dilakukan dengan posisi badan, ucapan tabe dilakukan saat lewat didepan sekelompok orang-orang yang lebih tua. Kemudian mengucapakan ‘iye’ atau jawaban iya yang halus dan ramah. Selain itu diajarkan menghormati ornag yang lebih tua dan menyayangi yang muda.
7.      Suku Bali
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali.
Kebudayaan Bali mendapat pengaruh kuat kebudayaan India. Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling luas pemakaiannya di Bali dan sebagaimana penduduk Indonesia lainnya, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Meskipun terdapat beberapa dialek dalam bahasa Bali, umumnya masyarakat Bali menggunakan sebentuk bahasa Bali pergaulan sebagai pilihan dalam berkomunikasi. Secara tradisi, penggunaan berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan sistem catur warna dalam agama Hindu Dharma dan keanggotan klan (istilah Bali: soroh, gotra); meskipun pelaksanaan tradisi tersebut cenderung berkurang.
Musik tradisional Bali memiliki kesamaan dengan musik tradisional di banyak daerah lainnya di Indonesia, misalnya dalam penggunaan gamelan dan berbagai alat musik tabuh lainnya. Meskipun demikian, terdapat kekhasan dalam teknik memainkan dan gubahannya, misalnya dalam bentuk kecak, yaitu sebentuk nyanyian yang konon menirukan suara kera. Demikian pula beragam gamelan yang dimainkan pun memiliki keunikan, misalnya gamelan jegog, gamelan gong gede, gamelan gambang, gamelan selunding dan gamelan Semar Pegulingan. Ada pula musik Angklung dimainkan untuk upacara ngaben serta musik Bebonangan dimainkan dalam berbagai upacara lainnya.
Terdapat bentuk modern dari musik tradisional Bali, misalnya Gamelan Gong Kebyar yang merupakan musik tarian yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda serta Joged Bumbung yang mulai populer di Bali sejak era tahun 1950-an. Umumnya musik Bali merupakan kombinasi dari berbagai alat musik perkusi metal (metalofon), gong dan perkusi kayu (xilofon). Karena hubungan sosial, politik dan budaya, musik tradisional Bali atau permainan gamelan gaya Bali memberikan pengaruh atau saling memengaruhi daerah budaya di sekitarnya.
Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok, yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk upacara dan juga untuk pengunjung dan balih-balihan atau seni ta tarian Bali tersebut; antara lain yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan dan Wayang Wong, sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged serta berbagai koreografi tari modern lainnya.
*      Pakaian daerah
Pakaian daerah Bali sesungguhnya sangat bervariasi, meskipun secara selintas kelihatannya sama. Masing-masing daerah di Bali mempunyai ciri khas simbolik dan ornamen, berdasarkan kegiatan/upacara, jenis kelamin dan umur penggunanya. Status sosial dan ekonomi seseorang dapat diketahui berdasarkan corak busana dan ornamen perhiasan yang dipakainya.
o   Pria
Anak-anak Ubud mengenakan udeng, kemeja putih dan kain. Busana tradisional pria umumnya terdiri dari:
·         Udeng (ikat kepala)
·         Kain kampuh
·         Umpal (selendang pengikat)
·         Kain wastra (kemben)
·         Sabuk
·         Keris
·         Beragam ornamen perhiasan
·         Sering pula dikenakan baju kemeja, jas dan alas kaki sebagai pelengkap.
o   Wanita
Para penari cilik mengenakan gelung, songket dan kain prada. Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari:
·         Gelung (sanggul)
·         Sesenteng (kemben songket)
·         Kain wastra
·         Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
·         Selendang songket bahu ke bawah
·         Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
·         Beragam ornamen perhiasan
·         Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.
Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan. Untuk itu pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya.Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung. Selain itu suku bali memiliki beragam upacara-upacara keagamaan. Salah satunya adalah ngaben. Ngaben adalah penyucian atma / roh yang sudah meninggal yang dipercayai agar sang roh dapat menyatu dengan Brahman/tuhan.
        Masyarakat Adat Di Sulawesi Tengah
Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Di Indonesia ada 1163 komunitas Masyarakat Adat yang tercatat sebagai anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Rapat Kerja AMAN tahun 2009 di Sukabumi dan di Sulawesi Tengah hingga tahun 2011 ini, ada 201 komunitas Masyarakat Adat yang masuk anggota AMAN Sulawesi Tengah yang tersebar di 11 Kabupaten Kota yang menempati daerah pegunungan dan pesisir laut dengan beragam adat istiadat dan pengetahuan lokal untuk mengelola sumber daya hutan yang ada di wilayah adat mereka.
Hingga saat ini, Masyarakat Adat masih menjadi bagian dari masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai dampak negatif pembangunan. Kondisi ini merupakan kelanjutan dari sejarah panjang diskriminasi dan marjinalisasi yang sudah berlangsung sebelum masa kolonial.
Oleh karena itu, perjuangan Masyarakat Adat di Indonesia untuk memperbaiki kehidupan sendiri maupun dengan dukungan dari pihak-pihak lain yang peduli dengan kemajuan hak-hak asasi masyarakat adat terus digalakkan. Cukup banyak hasil positif dari perjuangan ini di berbagai daerah di Indonesia, tetapi masih banyak lagi daerah yang belum menunjukan perubahan kearah yang lebih baik. Demikian juga perubahan di tingkat nasional, beberapa kebijakan sektoral mulai berubah dengan mengakui dan menyediakan perlindungan hukum terhadap hak-hak Masyarakat Adat.
Masyarakat Adat Dan Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Tengah
Di Sulawesi Tengah, secara umum Masyarakat Adat memandang hutan sangat erat hubungannya dengan kehidupan mereka yaitu;
1)      Secara sosial-ekologi, disamping sebagai penopang siklus air dan karbon dunia serta memiliki kemampuan mengatur iklim planet bumi, hutan merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat;
2)      Secara sosial-ekonomi; keberlangsungan hidup Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah sangat bergantung dari Sumber Daya Hutan untuk dikelola secara arif dan berkelanjutan;
3)      Secara sosial-budaya, hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat, untuk digunakan sebagai tempat ritual adat;
4)      Secara ilmu dan teknologi, masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam mengelola Sumber Daya Hutan yang sarat dengan etika dan konservasi lokal yang berlaku dikomunitasnya.
Dalam praktek pengelolaan hutan, Masyarakat Adat mempunyai kearifan lokal, menerapkan sanksi adat dan kelembagaan lokal yang dipraktekkan dalam pengelolaan hutan secara arif dan berkelanjutan.
Di komunitas Masyarakat Adat Sulawesi Tengah, praktek pengelolaan hutan yang diatur oleh kelembagaan adat masih terus dilakukan dan menjadi tatanan sosial masyarakat adat dan sangat dipatuhi oleh masyarakatnya maupun orang luar yang masuk dikomunitas Masyarakat Adat.
Contoh konkrit pengelolaan hutan yang dilakukan berdasarkan zonasi adat (tata kelola), berdasarkan kearifan lokal, sanksi adat yangdiatur oleh kelembagaan adat adalah di Masyarakat Adat Ngata Toro, Marena, Bada, Behoa, Katu, Taa Wana untuk Masyarakat Adat yang tinggal di daerah pegunungan dan Masyarakat Adat yang tinggal diwilayah pesisir.
           Perspektif Sulawesi Tengah
Komunitas Masyarakat Adat di wilayah Sulawesi Tengah secara riil masih ada, seperti masyarakat Tau Ta’a di kabupaten Tojo Una-Una, kabupaten Banggai dan kabupaten Morowali melalui kekerabatan herois dibawah pimpinan seseorang telenga’. Begitu juga masyarakat Kulawi, Sigi dan Pipikoro sub etnik yang menggunakan bahasa ‘Ija, Moma dan Oma. Di kabupaten Sigi juga masih kuat intensitas norma hukum adat. Tercatat dalam sejarah seperti yang tertulis dalam “van Poso naar Parigi, Sigi en Lindoe” hasil investigasi dan renungan N. Adrian dan Albert C. kruyt (1898) menyebutkan, bahwa orang-orang sigi itu ramah tamah dan bijaksana (scherpzinning), terutama ketika berada di Bora (Ibukota Kerajaan Sigi). Orang-orang Sigi belum tersentuh oleh tabiat pedagang. Meskipun peradaban yang lebih maju lainnya sudah ada, namun mereka masih kuat memegang teguh adat istiadat mereka, seperti “Baliya” dalam rangka upacara penyembuhan orang sakit (wurake).
Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah membutuhkan pengakuan perlindungan dalam bentuk peraturan daerah. Akan tetapi, bukan berarti setiap perda yang ada di Sulawesi Tengah yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu mengatur secara rinci semua norma-norma hukum adat. Perda dimaksud hanya bermateri muatan (hetonderwerp) pengakuan dan perlindungannya saja, khususnya meregulasi hubungan masayarakat adat dengan hutan, air dan lingkungan hidup, dengan tetap memperhatikan norma-norma yang didelegasikan (delegatie van wetgevings). Sedangkan yang bersangkut paut dengan norma-norma teknis diserahkan pada masyarakat hukum adat itu sendiri yang mengapresiasinya melalui lembaga adat. Misalnya pelanggaran-pelanggaran norma adat yang dapat di Givu, dll. Semuanya harus di kembalikan pada konsepsiemic, yaitu mereka sendiri mempersiapkan hak dan tanggung jawab menurut hukum adat masing-masing komunitas.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 perihal kehutanan ditegaskan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya berhak: pertama, melakukan pemugutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan. Kedua, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertetangan dengan undang-undang. Ketiga, mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Dari ketiga hak tersebut, harus di kukuhkan melalui pembentukan perda tentang hutan adat. Yang ingin di tegaskan di sini adalah perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di wilayah Sulawesi Tengah. Apabila tidak ada, maka hak-hak (akses) masyarakat tradisional atas sumber daya alam menjadi hilang, padahal SDA secara subtansial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat yang tradisional. Hal-hal tersebut merupakan refleksi dari gulatan kearifan tradisional dengan keserakahan modern, yang selama ini masih dalam episode termarginalkan dan masih menjadi fragment kehidupan tradisional masyarakat Indonesia yang pada umumnya tidak terlihat, namun dapat di rasakan. Kehidupan masyarakat modern yang di atur oleh hukum modern yang di dasari oleh pemikiran-pemikiran rasional, logis dan sekaligus dapat di pelintir merupakan benteng yang kokoh dalam melegalisir dan memberikan legitimasi atas keserakahan-keserakahan berikutnya yang lebih mutakhir.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym   “Sosial Budaya Sulawesi Tengah” dalam http://www.google.co.id/sosial-budaya-Sulawesi-Tengah/ diakses pada tanggal 07 Oktober 2011
Anonym   “Dampak Perubahan Sosial Budaya” dalam http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1992756-dampak-perubahan-sosial-budaya/#ixzz1bCRgQoGU diakses pada tanggal 10 Oktober 2011
Anonym   “Peluang Dan Ancaman Implementasi Skema” dalam www.amansulteng.blogspot.com/2011/9/peluang-dan-ancaman-implementasi-skema.html diakses pada tanggal 01 November 2011
Anonym   “---------------------------“dalam http://posobersatu.multiply.com/ diakses pada tanggal 10 Juni 2011
Anonym   “Perpres No. 6 Tahun 2011”. 17 Februari 2011 dalam http://www.djpk.depkeu.go.id/regulation/27/tahun/2011/bulan/02/tanggal/17/id/590/ diakses pada tanggal 23 Mei 2011.